Sugeng siang, dinten kemis niki mari kita kaji tentang MELURUSKAN PEMAHAMAN AL-WALA’ DAN AL-BARA’ (SEBUAH KOREKSI LOYALITAS SEORANG MUSLIM)
Oleh
Syaikh Shâlih Fauzân bin Abdillâh Al Fauzân
Allah Azza wa Jalla mewajibkan kita agar memiliki al-wala` kepada kaum Muslimin, dan al-bara` terhadap orang-orang kafir.
Allah berfirman :
إِنَّمَا
وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ
يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَنْ
يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ
هُمُ الْغَالِبُونَ
“Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman,
yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman menjadi penolongnya (wali yang ditaati), maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang”.[al-Mâidah/5:55-56]
لَا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي
شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah dia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara
diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka” [Ali ‘Imrân/3:28]
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
وَحْدَهُ
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Nabi Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum
mereka:”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara
kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja”. [al-Mumtahanah/60:4].
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا
تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَهَا
كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan
ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah,
tetapi (aku menyembah Rabb) yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia
akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid
itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada
kalimat tauhid itu”. [az-Zukhrûf/43:26-28].
لَا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ
فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ
وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ
اللَّهِ
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang,
yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan
pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah”.
[al-Mujâdilah/58:22].
Al-wala`
(loyalitas) dan al-bara` (berlepas diri) ini telah ditetapkan dalam
Al-Qur’ân, as-Sunnah dan Ijma’. Masalah ini sudah disyariatkan sebelum
ada perintah berjihad, yaitu saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berada di Mekkah. Al-wala` dan al-bara` tetap wajib, baik dalam kondisi
aman maupun perang. Ia bukan sesuatu yang baru.
Kami
menyampaikan permasalahan ini supaya diingat terus dan untuk
menjelaskan kerancuan dalam memahaminya. Karena sebagian orang yang
melampaui batas, yang berjalan di atas pemikiran Khawarij memahami
‘adâwah (permusuhan), barâ’ah (berlepas diri), dan kebencian kepada
orang-orang kafir memiliki konsekwensi, (yaitu) haramnya bergaul dengan
orang-orang kafir.
Mereka
tidak mengetahui bahwa yang dimaksud adalah berlepas diri dari agama
mereka. Dalam artian tidak mencintai mereka. Maksudnya bukan tidak boleh
bergaul dengan mereka dalam masalah yang dibolehkan Islam, ataupun
menzhalimi mereka dengan menghancurkan rumah-rumah mereka, membunuh
mereka yang berada dalam jaminan keamanan, membunuh anak-anak, kaum
wanita atau juga memusnahkan harta benda mereka. Lalu ini disebut jihad.
Sedangkan
sebagian lainnya mengira, kebencian dan berlepas diri dari orang-orang
kafir merupakan teror dan kezhaliman kepada mereka. Sebagaimana hal ini
terungkap dalam berbagai dialog maupun tulisan di sebagian media massa.
Kemudian anggapan keliru ini dimanfaat oleh orang-orang kafir dan orang
munafik. Mereka mengatakan, agama Islam itu agama teror dan buas?!
Kami
(Syaikh Shalih Fauzan) mengatakan kepada kelompok pertama dan kedua,
bahwa Islam merupakan agama rahmat bagi pemeluknya, dan agama yang
mengajarkan keadilan dan pemenuhan janji kepada para musuhnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya” [al-Mâidah/5:2].
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ
“Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah” [al-Mâidah/5:8].
Jadi
dinul-Islam ini, meskipun memerintahkan agar memusuhi orang-orang kafir
karena agama mereka, supaya ajaran mereka tidak ada yang menelusup ke
tengah kaum Muslimin, dan ini untuk menutup celah, namun Islam
mengharamkan berbuat zhalim terhadap mereka tanpa alasan yang haq. Islam
menghormati hak-hak orang-orang kafir mu’ahad (yang sedang dalam
perjanjian damai), dzimmi (orang-orang kafir yang tinggal di tengah
komunitas muslim dengan membayar pajak), musta’man (orang kafir yang
mendapatkan suaka). Islam mengharamkan darah dan harta benda mereka.
Islam juga memberikan hak-hak dan kewajiban yang sama kepada mereka,
sebagaimana hak dan kewajiban kaum Muslimin.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya”.[an-Nahl/16:91].
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya”.[an-Nahl/16:91].
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya”. [al-Isrâ’/17:34].
إِلَّا
الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ
شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ
عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Kecuali
orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka),
dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan
tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap
mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertakwa”.[at-Taubah/9:4].
‘Abdullah
bin Rawahah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, ketika ia diutus oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi w sallam ke penduduk Khaibar untuk menaksir atau
menghitung dengan perkiraan hasil buah-buahan agar menjadi pijakan
pemungutan pajak dari Yahudi, lalu ada orang Yahudi yang hendak menyuap
agar ia (‘Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘anhu ) meringankan mereka.
Menerima
perlakuan ini, beliau berkata: “Wahai kawan-kawan (dari kaum yang
dirubah menjadi, Red.) kera! Kalian adalah orang yang paling aku benci
di dunia ini, namun kebencianku tidak membuaku berlaku zhalim terhadap
kalian.”
Orang-orang Yahudi (itupun) menimpalinya: “Dengan inilah, langit dan bumi menjadi tegak.”
Begitu
juga tidak ada larangan melakukan akad jual beli atau sewa-menyewa
dengan orang-orang kafir. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
membeli makanan untuk keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
seorang Yahudi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggadaikan
baju besinya kepada seorang Yahudi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memakan makanan mereka, dan menghadiri undangan mereka. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjanjian damai dengan
orang-orang kafir, seperti perjanjian Hudaibiyah dengan orang-orang
musyrik, perjanjian damai dengan orang Yahudi di Madinah, perjanjian
dengan kaum Nashara di Najran. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan agar berlaku baik kepada tetangga dan para tawanan.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”.[al-Insân/76:8].
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi perjanjian bersama mereka, dan
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada seorang anak untuk berbuat baik
kepada orang tuanya yang kafir. Allah Azza wa Jalla berfirman, :
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku”,[Luqman/31:15].
Bahkan
dalam keadaan hendak memerangi mereka pun, sebelum menyerang, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar mendakwahi mereka,
melarang membunuh orang tua, para pendeta, anak-anak dan kaum wanita,
dan juga melarang melakukan perusakan. Adakah perlakuan kepada musuh
yang lebih baik dan lebih indah dari perbuatan ini?
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membunuh kaum kuffar yang
sedang terikat perjanjian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“(barang
siapa yang membunuh orang kafir yang sedang dalam perjanjian, maka
tidak akan mencium aroma surga)”, padahal kaum kuffar ini sangat
membenci kita, sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman :
إِنْ
يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ
أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ
“Jika
mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu
dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti (mu);
dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir”.[al-Mumtahanah/60:2].
كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً
“Bagaimana
bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang
musyirikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu,
mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak
(pula mengindahkan) perjanjian”.[at-Taubah/9:8]
هَا
أَنْتُمْ أُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ
بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا
عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ ۚ قُلْ مُوتُوا
بِغَيْظِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ إِنْ
تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا
بِهَا
“Beginilah
kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan
kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu,
mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka
menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu.
Katakanlah (kepada mereka):”Matilah kamu karena kemarahanmu itu”.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika kamu memperoleh
kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat
bencana, mereka bergembira karenanya” [Ali Imrân/3 : 119-120].
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا
“Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik”.[al-Mâidah/5:82].
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“Orang-orang
kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan
diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabb-mu”
[al-Baqarah/2:105].
Pemberitaan
Allah Azza wa Jalla ini terlihat nyata dalam perlakuan mereka saat ini
terhadap kaum Muslimin, yaitu berupa pembunuhan, pengusiran, penyiksaan,
penghancuran terhadap negara mereka dengan tanpa perasaan dan kasih
sama sekali.[3]
Meski
demikian, ketika kaum Muslimin berada pada posisi di atas, mereka tidak
akan membalas dengan perlakuan serupa, sebagai realisasi dari ajaran
agama mereka yang lurus. Lantas, bagaimana mungkin dikatakan “Islam itu
agama teror dan biadab?” Dan dakwah perbaikan dalam Islam, seperti
dakwah Syaikhul-Islam Ibnu taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin
Abdul-Wahhab, dan dakwah perbaikan lainnya adalah dakwah teroris?
Perkataan
ini tidak lain hanyalah memutarbalikkan fakta dan membuat kerancuan di
tengah umat. (Karena) sebenarnya teror dan biadab merupakan perlakuan
orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin, saat mereka berkuasa.
Al-wala`
dan al-bara` dalam Islam tidak berarti teror dan berbuat zhalim
terhadap pemeluk agama samawi. Namun hanya berarti memerangi musuh-musuh
Allah Azza wa Jalla, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla, yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan
kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang”
[Mumtahanah/60 ayat 1]- supaya ada garis pembeda antara muslim dan
kafir, sehingga seorang muslim terjaga keislaman dan aqidahnya, serta
merasa bangga dengan agamanya. Allah berfirman :
وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” [Ali ‘Imrân/3:139].
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga” [Al-Hasyr/59 : 20].
قُلْ
لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ
الْخَبِيثِ ۚ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Katakanlah:
“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk
itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang
berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. [al-Mâidah/5 : 100].
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Patut
Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang
berdosa (orang kafir) Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu
mengambil keputusan” [al-Qalam/68 : 35-36].
أَمْ
نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ
فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Patutkah
Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi?
Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan
orang-orang yang berbuat maksiat?” [Shâd/38 : 28]
Jadi
seseorang harus bangga dengan keislamannya. Kepribadiaanya tidak boleh
bercampur aduk dengan yang tidak muslim. Dia harus mengatakan:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” [al-Kâfirûn/109 : 6]
وَإِنْ
كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ ۖ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ
مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
Jika
mereka mendustakan kamu, maka katakanlah Bagiku pekerjaanku dan bagimu
pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan, dan aku
berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan [Yûnus/10 : 41]
Oleh karena itu, seorang muslim dilarang menyerupai non muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“(barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum itu)”,
karena menyerupai mereka secara fisik menunjukkan adanya kecintaan hati
kepada mereka.
Jadi
al-wala` wal-bara` bukan bermakna teror dan berlaku zhalim. Seorang
muslim mendakwahi manusia dengan amal perbuatan sebelum berdakwah dengan
lisan. Dakwah dengan lisan dengan cara hikmah, peringatan yang baik,
dan debat dengan cara yang terbaik. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla
memerintahkan hal itu kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, juga kepada Nabi Musa dan Harun Alaihissalam ketika mereka
diutus kepada Fir’aun. Allah berfirman :
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. [Thâha/20 : 44]
Seorang
muslim, meskipun membenci orang-orang kafir karena agama mereka, namun
ia tetap menghiasi diri dengan akhlak luhur, pergaulan yang bagus, adil
terhadap kaum Muslimin ataupun non muslim, baik dengan perkataan maupun
tindakan.
Allah Azza wa Jalla berfirman ;
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil” [al-An’âm/6 : 152]
.وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
“Dan
jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. [an-Nahl/16 : 126]
.
Demikianlah, kita memohon kepada Allah agar Dia menunjukkan kepada kita kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran dan memberikan kekuatan untuk mengikutinya, serta menunjukkan kepada kita kebathilan itu sebagai sebuah kebathilan dan memberikan kekuatan untuk menjauhinya.
.
Demikianlah, kita memohon kepada Allah agar Dia menunjukkan kepada kita kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran dan memberikan kekuatan untuk mengikutinya, serta menunjukkan kepada kita kebathilan itu sebagai sebuah kebathilan dan memberikan kekuatan untuk menjauhinya.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ
(Diterjemahkan dari kitab Al-Bayan Li Akhthai Ba’dhil Kuttab, cetakan Darubnil-Jauzi (2/160-164)
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Al-Wala berarti kecintaan, kesetiakawanan, loyalitas, pembelaan dan makna senada lainnya, red
[2]. Al-Bara.artinya berlepas diri, melakukan permusuhan dan memberikan kebencian, red
[3]. Semoga Allah Azza wa Jalla segera memberikan balasan yang stimpal terhadap mereka, -red
_______
Footnote
[1]. Al-Wala berarti kecintaan, kesetiakawanan, loyalitas, pembelaan dan makna senada lainnya, red
[2]. Al-Bara.artinya berlepas diri, melakukan permusuhan dan memberikan kebencian, red
[3]. Semoga Allah Azza wa Jalla segera memberikan balasan yang stimpal terhadap mereka, -red
Sumber: https://almanhaj.or.id/3542-meluruskan-pemahaman-al-wala-dan-al-bara.html
Komentar
Posting Komentar